Sabtu, 02 Januari 2010

10 Tanda Wanita Idaman Untuk Pria

Pria tergila-gila pada wanita cantik dan seksi ? Itu normal, tapi tak cukup cantik dan seksi saja untuk membuat pria tergila-gila. Ada kalanya seorang pria akan bosan punya kekasih cantik dan seksi namun tak bisa diajak bicara. Wanita semacam ini hanya untuk dikagumi, namun tak akan duduk di urutan pertama wanita yang akan diincar untuk menjadi pasangan hidup. Nah berikut ini adalah 10 point dari wanita yang dicari oleh para arjuna pria.

1. Wanita Bisa Mengontrol Emosi

Pada dasarnya semua wanita cenderung menjadi tukang ngomel. Pacar yang baik tahu kapan waktunya untuk menahan amarah dan kapan waktu yang tepat untuk mengeluarkannya. Beberapa perilaku pria kerap membuat wanita terganggu, hal ini lah yang kerap menyebabkan perselisihan. Pada kesalahan-kesalahan kecil usahakan untuk bicarakan secara baik-baik, tak perlu tensi tinggi. Pria akan lebih mudah mendengarkan wanita dalam nada yang lembut.

2. Wanita yang Satu Hati soal Seks

Seks bisa menjadi masalah yang paling penting dewasa ini. Ketidakcocokan masalah seks bisa jadi problem yang mengganjal dalam hubungan Anda. Seorang pacar yang hebat sedikitnya mengerti selera seksual kekasihnya. Tidak harus secara keseluruhan dan menuruti semua hasrat sang kekasih. Tapi setidaknya mengerti, berkomunikasi secara terbuka dan bisa mengimbangi serta mengendalikan ke hal yang positif.



3. Wanita yang Menghargai Kepribadian Kekasihnya

Secara tak sadar kadang sifat pria berubah sesuai dengan keinginan kekasihnya. Sifat-sifat dan kebiasaan ala lelaki menjadi berkurang atau hilang sama sekali karena perintah sang pacar. Nah, kekasih semacam ini biasanya akan dihindari pria. Walau cinta mati pada kekasihnya, seorang lelaki tetap merasa perlu waktu untuk berkumpul dengan teman-teman lelakinya.
Pria dan Wanita punya kebiasaan masing-masing yang sangat berbeda. Hargai perbedaan masing-masing dan berikan waktu untuk kehidupan lain di luar kisah asmara Anda.Kekasih yang dengan penuh pengertian memberika waktu bahkan mendukung jika kekasihnya hang-out bersama teman-temannya justru membuat pria makin tergila-gila.

4. Wanita yang Mandiri

Tak ada seorang pria pun yang ingin menjadi baby sitter untuk pacarnya. Pria lebih suka wanita yang mandiri bahkan bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan usahanya sendiri. Ia justru akan meminjamkan bahunya ketika sang pria membutuhkan. Namun walau semandiri apapun, pria juga selalu ingin merasa dibutuhkan.

Boleh saja bergantung pada pria tapi jangan keterlaluan. Sesekali Anda boleh kok manja dan minta tolong tapi jika terlalu bergantung bisa-bisa dia kabur. Selain itu, seorang wanita yang mandiri biasanya amat sangat bisa diandalkan. Ia bisa mengatur sendiri hidupnya dengan baik dari sisi finansial ataupun emosional. Ia pun bisa menikmati waktu jauh dari Anda walaupun rasa rindu itu tak bisa tertahankan.

5. Wanita yang Menghormati Kekasihnya

Ini hal yang penting. Pria senang punya pacar yang menghormati dan menghargainya sebagai lelaki. Intinya, dia adalah wanita yang selalu mendengarkan Anda walaupun ia tak selalu setuju dengan pendapat dan pemikiran Anda. Dan tentunya ia juga tak pernah lelah berada disisi Anda ketika saling membutuhkan. Pacar yang baik tak akan melecehkan atau membuat Anda malu di depan teman-teman ataupun keluarga dan selalu membicarakan masalah pribadi hanya untuk kalian berdua saja.

6. Wanita Menjadikan Anda Pria yang Lebih Baik

Pada dasarnya setiap pria yang memiliki kekasih atau istri yang hebat akan berkata pasangannya lah yang membuatnya ingin menjadi orang yang lebih baik. Tak perlu kata-kata atau tindakan untuk membuat si pria merasa demikian. Hal tersebut terjadi begitu saja tanpa disadari.

Secara otomatis sang pria akan berusaha memperbaiki hidupnya, lebih perhatian pada adik perempuannya, berusaha mengatur hidupnya lebih baik, dan melakuka berbagai hal untuk membuat dirinya lebih baik. Secara tak sadar si pria kadang-kadang juga tak menyadari apa motivasinya melakukan itu semua. Well, itu semua pastinya karena cinta!

7. Wanita yang Cerdas

Seorang wanita yang cerdas punya berbagai cara agar membuat pria tidak merasa bosan ketika berada di dekatnya. Ia akan selalu memberikan kejutan kecil yang mungkin tak pernah Anda duga. Seorang wanita yang cerdas tentunya juga memiliki wawasan yang luas di luar masalah kecantikan dan model baju terbaru. Para pria tentunya akan sangat senang jika memiliki lawan bicara yang bisa merespon dengan baik topik yang dibicarakan.

8. Wanita Cepat Akrab Dengan Teman dan Keluarga Kekasihnya

Pacar yang hebat tak sekadar mau membantu ibu Anda di dapur, mendengarkan cerita ayah Anda dan hang out bersama teman-teman Anda. Ia melakukan hal tersebut bukan hanya untuk menyenangkan kekasihnya, tapi benar-benar menikmati kegiatan tersebut dan melakukannya dengan sepenuh hati. Pacar yang baik sangat menghargai orang-orang yang dianggap penting oleh kekasihnya.

Dia juga tak akan meminta pria pujaan hatinya untuk menjauhi teman-teman dekatnya. Ketika teman si pria sedang patah hati, pacar yang baik akan menyarankan kekasihnya untuk mengajak sahabatnya pergi bersenang-senang. Bukti bahwa kekasih Anda demikian adalah, teman-teman Anda tak akan bersikap negatif atau terkesan berat hati jika pacar Anda akan hang-out bersama mereka.

9. Wanita yang Cantik dan Seksi

Mungkin ini adalah hal yang biasa, tapi juga penting. Layaknya istri, pacar yang hebat juga pastinya ingin selalu terlihat cantik di mata kekasihnya. Bukan hanya untuk Anda setidaknya untuk dirinya sendiri. Ia selalu berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Ingat, cantik bukan berarti ia harus berdandan bak model dunia. Yang penting bersih, serasi dan sesuai dengan kondisi.

10. Wanita yang Mencintai Sepenuh Hati

Jika Anda menemukan wanita yang mencintai Anda dengan sungguh-sungguh, apa adanya dan tanpa rekayasa sebaiknya jangan sia-siakan dia. Wanita yang tidak berusaha mengubah kekasihnya sangat sulit untuk ditemukan. Tentu saja setiap orang punya kebiasaan yang menjengkelkan tapi, jika ia mencintai Anda sepenuh hati, ia pasti akan berusaha memakluminya. Cara lain untuk mengetahui ia sangat mencintai Anda adalah coba perhatikan cara ia memandang dan memperlakukan Anda. Jika Anda tak merasakan getaran-getaran cinta sebaiknya jangan dipaksakan. Jika ia mencintai Anda, sedikit hal sepele bisa jadi penting untuknya.

Nah itulah sepuluh point yang sepatutnya diketahui para wanita dan para pria pun harus mengetahui bagaimana mengungkapkan cinta dan pria pun harus dapat menaikkan ranking depan wanita.

Sosiologi

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Kompetensi :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat memahami sejarah kelahiran dan perkembangan sosiologi baik di luar negeri maupun di Indonesia.

1.1. Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, sosiologi masih berumur relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology dalam tahun 1876. Ia menerapkan teeori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.
Seorang Amerika Lester F. Ward yang menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Seorang Perancis, Emile Durkheim menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada thun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905.
Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.

1.2. Sosiologi dan Pengetahuan
Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang paling mulia. Sejak lahir Tuhan mengkaruniai manusia akal budi. Akal budi diciptakan untuk berfikir, berkehendak, dan merasa. Dengan fikirannya manusia mendapatkan (ilmu) pengetahuan; dengan kehendaknya manusia mengarahkan perilakunya; dan dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan.

Sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dinamakan logika. Logika merupakan ajaran yang menunjukkan bagaimana manusia berfikir secara tepat dengan berpedoman pada ide kebenaran. Ketika kita sudah mengetahui batasan sosiologi, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan?
Kalau para pelopor sosiologi, sejak dahulu tentunya menganggap bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan. Namun benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya kita harus mengetahui dahulu apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan?
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dan pengertahuan itu dapat dikontrol oleh orang lain atau umum (obyektif). Atau ilmu pengetahuan bisa dirumuskan apabila memiliki beberapa elemen (unsur) yang menjadi suatu kebulatan, yaitu :
 pengetahuan (knowledge)
 tersusun secara sistematis
 menggunakan pemikiran
 bersifat obyektif (dapat dikontrol secara kritis oleh umum)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Misalnya : pengetahuan jenis-jenis kain, pengetahuan mengenai bebauan minyak wangi, pengetahuan mengenai cara pembuatan tempe.
Sistematis berarti berdasarkan urutan unsur-unsur yang merupakan satu kebulatan, sehingga akan jelas apa yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistem tadi merupakan suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan keseluruhan yang terangkai.
Menggunakan pemikiran : ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis (obyektif).
Apabila sosiologi memenuhi rumusan-rumusan di atas maka sosiologi merupakan suatu ilmu sejauh sosiologi mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkaan pada penelitian ilmiah. Sejauh sosiologi meninggalkan mitos, dongeng dan angan-angan, dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti-bukti ilmiah maka sosiologi adalah suatu ilmu. Bila ilmu didefinisikan sebagai suatu metode penelaahan, maka sosiologi adalah suatu ilmu sejauh sosiologi menggunakan metode penelaahan ilmiah.
Ilmu Pengetahuan sendiri dikelompokkan dalam 2 (dua) macam :
1. Ilmu Pengetahuan murni (pure science).
Ilmu pengetahuan murni bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak, untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakannya langsung dalam masyarakat. Misalnya : seorang ahli fisika bukanlah membuat jembatan, ahli kimia bukanlah membuat obat, juga ahli sosiologi hanya mengemukakan pendapatnya yang berguna bagi pembentuk undang-undang, birokrat, petugas administrasi, guru-guru, diplomat dan lain sebagainya akan tetapi mereka tidak akan menentukan secara langsung apa yang dikerjakan oleh petugas-petugas tersebut.
Sosiologi bertujuan untuk mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mememecahkan persoalan-persoalan masyarakat. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa sosiologi tidak berguna bagi masyarakat.
2. Ilmu Pengetahuan Terapan (applied science)
Ilmu pengetahuan terapan merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat.
Misalnya : ilmu pengetahuan tentang berbagai seni, sebagaian besar dipergunakan dan diterapkan langsung.

1.3. Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology)

Pada bagian ini akan dijelaskan empat ahli yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.
1.3.1. Auguste Comte (1798-1857)
Auguste Comte (Perancis, 1798-1857) mengemukakan istilah awal : SOCIAL PHYSICS (FISIKA SOSIAL) karena istilah ini sudah digunakan oleh ahli statistik sosial Belgia Adophe Quetelet, maka istilah diubah menjadi sociology.
Auguste Comte membagi sosiologi ke dalam dua pendekatan yakni:
1. Statika sosial (social static) : mengkaji tatanan sosial. Statika mewakili stabilitas.
2. Sosial dinamik : mengkaji kemajuan dan perubahan social. Dinamika mewakili perubahan. Progres dlm membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat secara keseluruhan sebagai unit analisis.
Dengan memakai analogi dari biologi, Comte menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order didalamnya ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan..
1.3.2. Karl Marx (1818-1883)
Karl Marx lahir di Trier, Jerman tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Tamat dari perguruan tinggi menjadi editor di sebuah surat kabar di Jerman. Pandangannya mat kritis terutama sangat anti penindasan yg hadir bersama system kapitalis yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Beliau pindah ke Paris setelah terjadipertentangn dengan pemerintah Jerman. Ia berkolaborasi dengan Friedrich Engels menulis buku berjudul The Communist Manifesto (1848). Lalu menulis buku : Das Capital, dua bab terakhir buku ini diteruskan oleh Engels karena Marx keburu meninggal.
Menurut Marx, sejarah manusia mulai dari pertanian primitive, feudal dan industri, ditandai hubungan social yg melembagakan sifat ketergantungan untuk mengontrol atau menguasai sumber-sumber ekonomi. Mereka yg menguasai dan mengonytol sumber-sumber ekonomi adalah kelas atas, seangkan mereka yg hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak punya sama sekali adalah dari kelas bawah. Terjadi penindasan oleh kelas atas terhadap kelas bawah. Fokus perhatian Marx pada dua kelas penting : BORJUIS (kelas atas/kapitalis yg memiliki memiliki alat-alat produksi seperti pabrik dan mesin) dan PROLETAR (kelas bawah/ para buruh yg bekerja pada borjuis).
Pendapat Marx terhadap fenomena social semacam itu (penindasan /eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar) hanya dapat dihentikan dengan cara mengganti atau merusak system kapitalis. Caranya dengan melakukan revolusi (prinsip konflik) kemudian menggantinya dengan system yg lebih menghargai martabat manusia. Ini tidak mudah karena para buruh harus menghilangkan False Consciousness (kesadaran palsu) dengan class consciousness kesadaran kelas. Melalui bimbingan pemimpin-pemimpin revolusioner, para buruh akan menjadi setia dan mau berkorban demi perjuangan kelas. Denagn demikian kan muncul masyarakat yg adil, sama rata sama rasa, dan terhindardari segala bentuk eksploitasi, ini yg disebutnya sebagai masyarakat komunisme modern. Disamping dipuja banyak orang, Marx juga dikecam banyak orang, terutama pendapatnya tentang “agama sebagai candu masyarakat“ (the opium of the people).
1.3.3. Max Weber (1864-1920)
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya seorang birokrat (kelak akan mewarnai pikiran beliau tentang birokrasi) yg menduduki posisi politik penting, sedangkan ibunya adalah seorang pemeluk agama Calvinisme yg sangat taat (juga mempengaruhinya melakukan studi tentang kaitan etika protestan dengan spirit kapitlisme industrial).
Beliau menempuh kuliah di Universitas berlin belajar hukum. Setelah berhasil mengambil gelar doctor ia berprofesi sebagai praktisi hukum, di samping itu ia juga bekerja sebagai dosen di Universitas Wina dan Munich. Ia banyak mendalami masalah ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Bukunya yg terkenal berjudul “ A Contribution to the histoy of Medieval Business Organizations” dan “ The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” (1904) . Dalam bukunya yg kedua ini ia mengemukakan tesisnya mengenai keterkaitan antara etika protesan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Pandangan Weber, kenyataan social lahir dari motivasi individu dan tindakan-tindakan social (social action). Dari pandangannya sebenarnya Weber lazim digolongkan “nominalis” yg lebih percaya bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosila inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi social.


1.3.4. Émile Durkheim (1858-1917)
Lahir di Epinal, Perancis dan berasal dari keluarga yg mewarisi tradisi sebagai pendeta Yahudi. Ia awlnya sebenarnya bersekolah untuk menjadi pendeta.
Durkheim merupakan ilmuwan yg sangat produktif. Salah satu karyanya yg berjudul “ The division of Labor in Society” (1968) membahas mengenai gejala yg sedang melanda masyarakat : pembagian kerja. Ia mengemukakan bahwa di bidang perekonomian seperti industri modern terjadi penggunaan mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yg mengakibatkan pembagian kerja ke dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yg semakin rinci. Pembagian tersebut dijumapai pula di bidang perniagaan dan pertanian. Lalu melebar pula pada bidang-bdang kehidupan yg lainnya : hokum, politik, kesenian, dan bahkan keluarga. Tujuan kajian durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui factor penyebabnya.

1.4. Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri PAduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ko Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Pernag Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup berates suku.

Pertanyaan :
1. Tesis Weber yang terkenal adalah ada keterkaitan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Jelaskan tesis Weber tersebut!
2. Apa sumbangan pemikiran Karl Marx yang penting bagi perkembangan sosiologi? Jelaskan!

Agama Tanpa Sosiologi Agama: Meninjau Wacana Pluralisme di Indonesia

humanity.jpg
Ada yang tampaknya tertinggal jauh dalam sepak terjang agama-agama di negeri ini: sosiologi agama. Tentu tesis ini tampak sewenang-wenang, pun kedengaran janggal: apa hubungan antara agama dengan semesteran atau mata-kuliah bernama sosiologi agama itu?

Tulisan ini akan mencoba memberi jawab atas tesis di atas, sambil membentangkan perkembangan terakhir sosiologi agama di Indonesia dan tentu saja: isu seputar pluralisme akan dijadikan bukti bahwa akhir-akhir ini agama-agama yang beroperasi di Indonesia bekerja tanpa sosiologi agama.

Debat pluralisme

Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak faham pluralisme agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di negeri ini yang problematis. MUI dalam fatwanya melihat bahwa pluralisme adalah faham yang mengajarkan kesamaan semua agama sehingga itu berarti juga menyiratkan faham relativisme. Malah, pluralisme mendaku bahwa tidak boleh ada klaim mutlak mengenai ajaran (di sini MUI secara tidak langsung, menurut saya, melihat adanya aspek ideologis dalam pluralisme), yang bagi MUI akan berakibat pada persoalan teologis ”bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga”.

Tampaknya ada posisi yang bertakik-takik yang tersirat dalam cara bicara MUI di atas, yaitu bahwa wacana pluralisme bukanlah wacana yang sudah jelas dalam kata itu sendiri dan wacana pluralisme adalah wacana yang sarat dengan beban ideologis dan juga teologis.

Posisi yang berhati-hati atas pluralisme tampak dalam tulisan Franz Magnis-Suseno (2006). Beliau tampaknya menerima pluralisme sebagai penjelasan keadaan sosial, tetapi menolak kalau pluralisme dijadikan sebagai sikap teologis (dengan memberi alternatif, yaitu inklusivisme teologi) walau beliau tetap menyarankan perlunya sikap pluralis sebab sikap inilah yang memungkinkan seseorang menjadi toleran.

Menurut saya, di sini kita bisa paham akan posisi hati-hati Magnis-Suseno dan posisi tegas yang tecermin dalam fatwa MUI itu sebab memang pluralisme bukanlah istilah yang jelas dan mudah. Di pihak lain, saya malah hendak menyatakan betapa tertinggalnya wacana sosiologi agama di negeri ini sehingga silang sengketa seputar pluralisme itu tampak berujung dalam deadlock. Atau, akibat tidak adanya wacana sosiologis seputar pluralisme agama, maka belum-belum pluralisme ditanggapi sebagai persoalan ideologis (faham yang mendaku) ataupun teologis (beragama yang relativistis) sehingga ia menjadi medan konflik.

Tertinggalnya sosiologi agama di negeri ini dalam memberi perspektif yang nonideologis ataupun nonteologis terhadap pluralisme juga kelihatan dalam kesemrawutan pemakaian istilah pluralisme itu sendiri. Seolah, tanpa memilah-milah, fakta kemajemukan agama, multikulturalisme, demokrasi, dialog, dan keterbukaan teologis adalah isi keranjang dan makna pluralisme itu sehingga kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) prodemokrasi, Gerakan Perempuan, Inter-faith groups, pejuang masyarakat adat, dan intelektual (agama) liberal mengambil posisi berhadap-hadapan (malah frontal) dengan semua institusi yang dianggap konservatif dan eksklusif (yang secara karikatural dilekatkan pada MUI).

Padahal, dalam wacana sosiologis agama kontemporer—yang sayangnya tidak dikembangkan di Indonesia—pluralisme mengandung paling tidak tiga kenyataan yang mendasar dalam masyarakat modern, kenyataan yang belum tentu dapat dengan mudah dikelola (James Beckford, 2003). Kalau elemen-elemen pluralisme ini dikenal, mungkin saja benang kusut tidak perlu terjadi dalam wacana kita.

Pertama, pluralisme adalah ungkapan deskriptif, mengenai de facto kemajemukan agama (religious diversity). Penjelasan ini tentu tampak gamblang walau ada sejumlah turunan maknanya. Dengan kemajemukan tentu juga berarti ada derajat otonomi dalam tradisi agama masing-masing, di mana ia mampu mengelola rumah tangganya sendiri. Jadi, ada kemandirian institusional dari agama tersebut.

Yang tak kalah menarik dari ihwal kemajemukan ini ialah bahwa dalam perkembangan mutakhirnya, posisi otonomi agama tadi mendorong transformasi internalnya, yang antara lain mengakibatkan adanya kemajemukan internal dalam satu agama (sekte-sekte). Para ahli sosiologi agama melihat adanya sejumlah pola transformasi internal agama tersebut: antara lain dalam sebentuk sinkretisme (di mana ada percampuran yang melahirkan wajah baru agama itu), bisa juga pematrian aspek baru yang menyepuh agama lokal (bricolage, sesuatu yang umum dalam ekspresi agama di Afrika), atau proses belajar, meminjam dan berkembang walau tetap mempertahankan orisinalitas agamanya (bentuk hybrid). Pendek kata, pluralisme internal agama menunjukkan adanya diferensiasi di dalam agama tersebut yang menuntut semacam keleluasaan dari agama itu dalam menentukan batas-batas dirinya.

Kedua, pluralisme juga berarti pengakuan publik akan eksistensi agama-agama tertentu, yang nanti dilanjutkan pada pengakuan negara. Pengakuan publik secara sosiologis berarti ada semacam penerimaan publik bahwa eksistensi agama tertentu itu ada tanpa menjadi ancaman bagi dirinya. Demikian juga makna pengakuan negara, yaitu bahwa agama tersebut tidak akan mengguncang kekuasaannya sehingga memang dalam setiap konteks (masyarakat atau bangsa) selalu ada kepelbagaian pola dan batas-batas penerimaan atas agama-agama yang masuk. Di sini (kalau memakai terminologi agama di Indonesia) kita membicarakan pluralisme sebagai sikap toleran (di mata publik) dan sebagai kerukunan (di mata pemerintah).

Dalam konteks pemaknaan pluralisme sebagai toleransi dan kerukunan tadi, terbentang semacam tarik-ulur yang tak terhindari. Kalau ”kita” menerima lima atau enam agama resmi, itu berarti mereka kita akui sebagai kompetitor yang sah dalam menjalankan dan menyebarkan misi agamanya. Namun, segera juga persoalan ini mendatangkan persoalan baru, adakah batas kebebasan beroperasinya agama yang sudah ”kami” akui eksistensinya itu? Bukankah kebebasan itu tidak boleh sampai mengguncang konsensus yang semula ada bahwa setiap agama hendaknya juga beroperasi demi menjaga integritas masyarakat (dan negara) tersebut.

Dalam perkembangan tertentu, masing-masing masyarakat malah menerbitkan seperangkat hukum untuk menjaga integritasnya atas kemungkinan tergerusnya agama tertentu akibat beroperasinya agama lain. Pluralisme agama dalam konteks itu memang menolak free-fight liberalism, juga menolak pasar bebas agama-agama sebab selalu ada batas-batas penerimaan sosial dari masyarakat terhadap karya dan sepak terjang agama-agama.

Pluralisme di sini berarti seperti yang diserukan dalam semboyan bhineka tunggal ika (’meskipun beragam, tunggal juga’) itu, yang dipertegas dengan sambungan kata-kata tan hana dharma mangrwa (’tiada pluralisme dalam agama’, di sini saya memakai terjemahan Rachmat Subagya dalam bukunya Agama Asli Indonesia, 1981). Dengan kata lain, sekalipun saat itu di Jawa terjadi pluralisme (”agama primal” Jawa, Hindu, dan Buddha hidup berdampingan), ada batas-batasnya: ketiga agama itu bisa ditolerir selama mereka rukun dan konsensus dalam masyarakat saat itu tidak dilanggar (kala itu konsensusnya masih bercorak kosmis, yaitu bahwa dharma itu bagaimana pun satu jua).

Pluralisme sebagai nilai: Peter Berger

Ketiga, dan di sini kita gontai—dan sayangnya sosiologi agama di Indonesia belum datang menolon—ialah bahwa pluralisme adalah sebentuk komitmen normatif. Pluralisme menjadi sebentuk misi pada dirinya, ia adalah kebenaran itu sendiri, mirip dengan tuntutan multikulturalisme. Di sini kita bisa katakan ia menjadi kelanjutan dari semangat Pencerahan sebab ia menuntut sebentuk sikap ideal (atau bahkan sikap etis) tentang kemajemukan yang nanti hendak diterapkan dalam konteks sosial. Jadi, pluralisme menjadi imperatif yang dianggap bernalar dan niscaya kalau kepelbagaian sosial hendak dikelola dengan baik sebab hanya dalam pluralisme terjamin kebebasan individual di mana religious freedom (juga freedom to change one’s religion) menjadi turunannya.

Mengutip Diana Eck, Zuhairi Misrawi mengatakan bahwa pluralisme adalah upaya menemukan komitmen di antara partikularitas-partikularitas (2005), dan komitmen itu nantinya menjadi moral untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Dengan demikian, sebenarnya agama-agama harus melepas warisan memori religiusnya tentang kesatuan masyarakat dan agama, ia harus berhenti menjelaskan baik-buruk kehidupan ini semata-mata dalam kerangka agamanya. Dengan kata lain, bahasa agama tidak sama dan tidak bisa persis diterapkan ke dalam masyarakat! Soalnya, masyarakat berisikan kepelbagaian arus informasi dan, karena masyarakat adalah interaksi dari sekian banyak pikiran dan keyakinan, maka yang harus ditemukan oleh agama ialah sebuah komitmen di luar ataupun melampaui gramatika dirinya; sebuah moral pasca-agama, moral pascapartikularitas, yaitu moral pluralisme iu sendiri.

Persoalannya tentulah apakah social fabric di negeri kita mampu menanggung jenis pluralisme demikian? Bisakah agama-agama yang hidup di Indonesia meneken akad untuk sebentuk moral sosial pluralisme sedemikian, di mana ia hanyalah salah satu peyangganya? Sebab misalnya, dalam pengalaman pluralisme di Belanda, partikularitas agama Protestan (yang harus bersanding dengan partikularitas agama Katolik) toh dari sudut sosiologis tidak lantas bisa rela begitu saja melepaskan kukunya dari masyarakat. Ada mediasi antara partikularitasnya dan pluralisme masyarakat sekular: melalui pilarisasi (verzuilen). Saat itu, di pertengahan abad ke-19, semua orang Protestan membaca koran yang sama, bersekolah di tempat yang sama, ke rumah sakit yang sama, bekerja di firma yang sama, dan berpolitik di partai yang sama. Seolah semua aspek kehidupan sosial masih 100 persen Protestan. Dengan kata lain, teologi saat itu seolah-olah adalah sosiologi. Di sini ada semacam langkah-antara (intermediary associations) sebelum memasuki masyarakat yang sama sekali lepas dari ikatan konfesi satu agama tertentu.

Sekali lagi, untuk konteks Indonesia, kita hanya tahu kesiapan agama untuk pluralisme demikian kalau sosiologi agama terlebih dulu memberitahu hasil risetnya tentang daya lentur dan integritas masyarakat kita. Kita amat perlu juga mendengar apakah ada semacam asosiasi yang memperantarai agama-agama di negeri ini sekiranya konflik normatif terjadi dalam konteks pluralisme demikian.

Di sini nama Peter Berger muncul mengemuka, bukan karena kesohorannya, melainkan karena penerjemahan buku-bukunya, khususnya seputar isu agama, yang oleh penerbit LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) seolah sebentuk upaya uji coba pluralisme tersebut di tengah masyarakat kita. LP3ES sebagai lembaga berkumpulnya para intelektual kritis promodernitas dan pembangunan (Daniel Dhakidae, 2003) tampaknya sadar bahwa agama akan mengalami masalah dalam konteks modern itu. LP3ES pun memperkenalkan ihwal tadi dengan menerjemahkan karya Berger pada tahun 1990 mengenai metode sosiologinya (bersama Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan), lalu pada tahun 1991 mengenai krisis agama (Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial), dan tahun 1992 mengenai pencarian teologis di tengah krisis tadi (Kabar Angin dari Langit). Bahkan, bisa dikatakan perkembangan terakhir sosiologi agama di Indonesia ada di situ, yang bagaimanapun sayang terhenti di awal tahun 1990-an.

Menurut Peter Berger, pluralisme adalah isyarat bahwa agama tengah mengalami krisis sebab pada momen itulah awal agama tidak lagi memonopoli penjelasan dan legitimasi suatu masyarakat. Masyarakat modern sudah sedemikian terfragmentasi, terjadi segregasi lintas institusi di dalamnya, sehingga jalan satu-satunya agama untuk berkembang ialah dengan memasarkan dirinya di tengah kegaduhan pasar agama-agama dan ideologi. Itu pun tidak mudah sebab ia terjadi dalam kesadaran modern proses disenchantment (luruhnya tuah agama)—Langit Suci telah retak—dan agama selanjutnya secara internal dipaksa berjuang menegakkan keberterimaan nalar (plausibility) imannya di hadapan rasio modern.

Ketika datang ke Indonesia (1995), Berger mengatakan bahwa di tengah pluralisme sedemikian—yang rupanya adalah turunan proses sekularisasi—dalam diri agama terjadilah cognitive dissonance, suatu krisis akibat munculnya ide dan suasana baru yang kontradiktif dengan norma dan etik yang ia warisi. Dan menurut Berger, agama bervariasi dalam menghadapi ihwal tadi, bisa melakukan perlawanan mati-matian (dalam fundamentalisme agama), bisa terasing bertapa atau berilusi tentang rahasia-rahasia ilahi, atau melakukan tawar-menawar dengan mencoba mendukung pluralisme dari dalam agama itu (semisal teologi pluralisme).

Di sini kepentingan gagasan Berger terkait dengan situasi kita. Jadi, secara sosiologis bagaimanalah masyarakat kita menghadapi pluralisme itu? Adakah sebentuk data bahwa memang proses tawar-menawar telah berlangsung di negeri kita sehingga kita optimistis bahwa pluralisme malah akan menyehatkan tubuh agama-agama dan masyarakatnya. Atau, sebaliknya, agama-agama di Indonesia telah menghunus pedang perlawanannya terhadap pluralisme dan tidak mau menerima situasi krisis akibat goyahnya tuah agama tadi sehingga fundamentalismelah yang terlebih menjadi pilihan agama-agama atas situasi pluralisme tadi, yang tentu memberi kontribusi pada gejala kekerasan seputar agama (baik intern agama maupun lintas agama) yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia.

Di sini tampaknya tidak ada yang bisa menjawab dengan tuntas. Namun, ada kesimpulan yang bisa kita tarik bahwa agama memang bertumbuh sendirian dan tanpa sokongan atau pun input dari sosiologi agama di negeri ini—demikian juga para elitenya—dan sosiologi agama tampak terhenti di hadapan kegaduhan sosial pasca-Reformasi di Indonesia. ajier Sosiologi Banda aceh Universitas syahkuala


Blogspot Template by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Lincah.Com - Bugatti Cars